Sunday, January 28, 2007

mencintai tapi tak memiliki

Inspirasi lagu, puisi, bahan perenungan, curhat, penyesalan dan lain lain, tapi apakah tak memiliki?

Dalam hidup ada kejadian yang disebut dengan kehilangan. Mengapa hilang? Berpindah tempatkah? Berpindah tangan dan kepemilikan kah? Meninggal dunia? Rusak? Hancur?

Semua di atas tetap saja sama rasanya, kehilangan...

Yang sering terjadi adalah bukan saat masih "memilikinya" tetapi saat "kehilangannya", menjadi penyakit jiwa bila masih tak bisa diatasi. Untuk itu mungkin paradigma berfikirnya yang harus dicermati.

Kita diciptakan karena cinta, pemberian Yang Maha Mencipta, Maha Memberi. Dengan kasih sayang orang tua kita (atau siapapun) membesarkan kita saat kecil karena cinta, tahu bahwa kita belum mampu untuk berjuang melestarikan pemberian hidup. Setelah besar kita berjuang untuk dalam penghidupan selalu sehat, nyaman, mengikuti perkembangan lingkungan dan masyarakat. Mencari ilmu untuk menjadi pintar, bekerja untuk menafkahi diri, mengembangkan sikap mental dan moral untuk menjadi manusia yang "baik". Seolah sadar bahwa dirinya akan mati, siapapun tentu menghendaki hal di atas kecuali jiwanya sudah terjangkit penyakit mental, yang buruk menjadi baik, yang busuk menjadi enak di mulutnya.

Bagi diri sendiri usaha-usaha di atas masih merupakan naluri untuk hidup, bagi yang tidak beragama sekalipun masih ada usaha untuk mempertahankan hidup walau bingung tujuannya untuk apa. Seperti binatang dan tumbuhan, bergerak otomatis mengikuti insting tumbuhnya, menjaga kelestarian sampai akhirnya dari generasi ke generasi punah karena hukum alam.

Cinta diri sendiri, bukan secara berlebihan, sehingga manusia bayi kelamaan menjadi manula dan meninggal, mempersembahkan cintanya pada dirinya di dunia kepada Yang Menitipkan Cinta berupa kehidupan. Ketika titipan kehidupan di dunia habis masa berlakunya, maka bagi orang lain menjadi "kehilangan".

Jika kita terbiasa memandang hidup itu sebagai masa di dunia, maka perasaan kehilangan itu ada karena sesuatu meninggalkan dunia "kita". Kehilangan barang, berarti barang itu sudah tidak ada dalam dunia "kecil" kita. Kehilangan pacar, berarti si pacar sudah tidak ada dalam jangkauan sayang kita walau tiap hari masih bertemu di kantor misalnya. Kehilangan seseorang karena ia meninggal dunia jauh lebih rumit, karena tidak ada hubungan yang bisa terjadi lagi dalam jangkauan panca indera kita.

Setelah kita mencinta sejenak, lalu kehilangan, apakah sempat kita memiliki? Entahlah apa jawabannya, perasaanlah yang bisa berkata tanpa perlu dinyatakan.

Karena kehilanganlah maka sifat memiliki itu hilang, walau cinta itu tidak hilang. Bentuk cinta yang beragam, cinta pada anak, cinta pada orang tua, cinta pada kekasih, cinta pada hobi, cinta pada Tuhan. Beragam dan bisa berubah-ubah. Cinta pada kekasih dapat berubah menjadi cinta pada saudara ketika feeling berubah. Cinta pada pada anak bayi akan berubah ketika si anak menjadi besar. Dimensi kehilangan yang tiap detik berubah tetap tidak akan memusnahkan cinta karena keabadiannya.

Cinta dan mencinta itu abadi, karena dititipkan oleh Yang Maha Mencintai...

Tertib jalan raya, pandangan lain

Hari sabtu kemarin banyak pengendara motor yang berdemo memprotes kebijakan kepolisian yang memberlakukan peraturan motor di jalur kiri. Dalam hati, akhirnya meledak juga perasaan itu yang tanpa banyak rapat dan basa basi, sekumpulan pengendara motor menyuarakan protesnya di kawasan thamrin-sudirman.

Entah apa tanggapan orang tentang itu, tapi jelaslah perasaan para pengendara motor itu yang terkena oleh peraturan itu ; "mengapa hanya motor? mengapa angkot dan bis yang berhenti sembarangan tidak ditertibkan sehingga tidak menghalangi jalur kami? mengapa kendaraan pribadi roda 4 tidak mendapat perhatian (baca : tilang)?"

Sebuah gejala yang berulang di negeri kita, pelanggaran-pelanggaran kecil yang dibiarkan akhirnya menjadi masalah yang besar seperti penyakit kulit yang menjamur dan akhirnya sulit untuk dibasmi. PKL yang dibiarkan berjualan ketika sudah banyak akhirnya diusir, tetapi mana tindakan ketika mereka masih berjumlah 1-2 ? Lalu mengapa ada retribusi bila memang yang mereka tempati salah?

Ketika motor sudah menjamur dan merajalela baik jumlah maupun tertib jalan rayanya, mengapa tidak dari awal ditertibkan? Jika jalur kiri untuk kendaraan lambat termasuk motor "dikosongkan" tentulah ceritanya tidak sama seperti sekarang.

Saya teringat kasihan kalau melihat tukang cat marka jalan, rasanya hasil kerja mereka percuma saja, garis pembatas jalan harus lurus dan di tengah-tengah jalan raya, hanya dapat terlihat pada hari minggu! Karena hari-hari kerja tertutup oleh kendaraan terutama roda 4 kan?

Ukuran lebar jalan raya (bukan jalan komplek perumahan) sudah berstandar sehingga baik mobil maupun motor ada jarak aman, motor bisa dengan aman menyalip tanpa perlu memepet mobil. Lain halnya bila mobil berjalan tanpa peduli garis pembatas dan inilah mengapa motor berjalan kanan kiri, bukan karena kecepatannya lebih dari mobil.

Tanpa menghakimi, sekali lagi, peraturan adalah peraturan (kalau ada UU nya), bersandar pada diri masing-masing, apakah kita juga sudah cukup tertib?

Dan ingatlah, tertib jalan raya itu sebuah sumber amal buat kita, karena begitu banyak yang terbantu dengan tertibnya kita di jalan raya. Hitung-hitung mengumpulkan pahala receh untuk menutupi dosa-dosa...

Tuesday, January 16, 2007

alone in the crowd

kesendirian di tengah keramaian...

sebuah fenomena yang tanpa terasa makin banyak bila disimak, muncul di perkotaan...
seseorang yang merasakan sendiri walau di tengah pasar yang ramai sekalipun, sendiri di tengah jalan menunggu angkutan, sendiri di tengah taman menuntun anjingnya sambil sesekali menyeru nama anjingnya...

seseorang 'berdiri' dengan bangganya di rimba cyber, berkata-kata dengan ramainya pemikiran dan impiannya di dalam dunia fana dan virtual...

ada apa dengan dunia, mengapa interaksi sosial bergeser pada hal hal virtual? yang sunyi menjadi ramai, yang pendiam menjadi cerewet, dalam dunia yang tidak ada batas secara virtual...

apakah dunia virtual sudah lepas dari alam semesta manusia sosial? apakah malaikat tidak mampu menembus dunia ini?

apakah dunia nyata tidak bisa kita rasakan sebagai dunia virtual? apakah dunia nyata tidak seluas dunia tadi?

sesepi apapun dunia tetaplah ramai dengan ciptaan, semua punya bahasa, semua punya ciptaan...

lalu mengapa harus sendiri di tengah keramaian?

mahkota ibunda

di tengah padang rumput yang menghijau seorang bunga berdiri tegak dengan mahkotanya yang indah dan wangi semerbak...

dia hanya tersenyum ketika sepasang lebah hinggap dan bercengkerama di atas mahkotanya, menari nari dan mencabik cabik kelopak mahkotanya, dia berkata, terimakasih wahai lebah...

walau sakit tapi si bunga tetap tersenyum, merasakan dirinya dan hidupnya...

ketika si bunga melihat sekuncup bunga yang tumbuh di dirinya, dia berkata sambil meneteskan air mata, wahai anakku yang baru lahir, aku akan menjagamu dari panas dengan daun daunku, aku akan melindungimu dari binatang dengan duriku, aku akan menghidupimu dengan memberimu air dari diriku...

ketika si anak mulai membuka mata dan kelopaknya, memandang kearah ibunda, sang ibu berdoa, engkau harus tumbuh cantik anakku, biarlah ibu menjadi tua dan kuning asalkan kau tumbuh dengan indah...

si anak hanya tersenyum tak mengerti pandangan sayang ibunya...

ketika musim berganti dan kemarau tiba, ketika mahkota ibunda mulai layu, si anak berkata, mengapa ibu tidak minum? masaku akan tiba anakku, kelak kau mengerti mengapa aku tidak minum, tapi engkau anakku harus minum, biarlah ibu begini...

aku tidak mau ibu meninggalkanku, aku ingin ibu tetap menjagaku, apapun akan aku lakukan supaya ibu tetap di sisiku...

wahai anakku, satu yang bisa kau lakukan untukku, hidupkan lah aku di dalam dirimu, dengan demikian aku akan tetap disampingmu dan menjagamu, kata ibunda sambil membelai anaknya dengan daunnya yang keriput...

ketika masa itu tiba, ibunda yang sudah tua tersenyum dan memandang anaknya yang beranjak dewasa dengan matanya yang rabun, mahkotanya yang telah tanggal dan layu, dan si anak dengan berlinang air mata berkata, ibu, minumlah air ini terakhir kalinya, aku akan ingat pesan ibu...

terimakasih anakku, jagalah selalu mahkotamu...dengan diiringi tiupan angin padang rumput, ibunda jatuh dan lepas dari sisi anaknya, terbaring di tanah yang kering, diiringi tetesan air mata si anak melepas kepergian ibunya...

terimakasih ibu, aku akan selalu ingat pesan ibu, aku akan menghidupkanmu dalam diriku, dan aku akan selalu menjaga mahkotaku...

sekian lama dan musim berganti, melewati masa kering dan sekarang hujan, si anak telah beranjak dewasa, mahkotanya yang indah dan mewangi selalu basah ditetesi air hujan, berdiri tegak di antara kumpulan bunga bunga lain yang bermekaran dengan cantik...

ibu, aku melewati musim karena ingat pesan ibu, aku menjaga mahkotaku karena ingat pesan ibu, mahkotaku adalah mahkotamu juga, warnaku adalah warna darimu, wangi semerbakku adalah wangi dirimu ibu, walau kau telah pergi tapi aku masih melihat dirimu dalam diriku, karena itu aku tetap menjaga diriku...

karena engkau masih hidup dalam diriku aku telah mengerti apa yang harus aku lakukan hingga saatku nanti, karena itu aku harus hidup dan tumbuh dengan indah untukmu...

dan ketika musim berganti, padang rumput mulai dihiasi lebah yang beterbangan, si anak yang telah tumbuh dewasa tersenyum, aku telah melewati masa ini, saatku sudah berganti, aku telah mengerti pesanmu ibunda...

si anakpun tersenyum ketika sepasang lebah hinggap dan menari nari di atas mahkotanya, bertaburan serbuk bunga dan cabikan mahkota, diiringi tetesan air mata si anak yang jatuh ke atas rumput, seolah bayangan ibunda muncul di atasnya...

terimakasih ibu, engkau telah menyambung hidupku, sekarang aku telah menjadi seorang ibu...